Jumat, 17 April 2009

Mempertahankan Nilai Kemanusiaan dalam Penderitaan

Mempertahankan Nilai Kemanusiaan dalam Penderitaan

Judul Buku : Merajut Harkat
Penulis : Putu Oka Sukanta
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Agustus 1999
Tebal : xxvi + 568 halaman

BAGAIMANA kalau Anda atau saya masih seperti di zaman Orde Baru (atau masih dibayangi) sehingga suatu hari tanpa tahu kenapa tiba-tiba dicap semacam istilah-istilah “gerombolan pengacau keamanan” atau “kelompok subversif”. Lalu tanpa perlindungan hukum dan tanpa daya, diculik, diseret bagai binatang ke tahanan, disiksa serta dipaksa mengakui hal-hal yang tidak pernah Anda lakukan atau pahami? Di tahanan itu Anda atau saya tak tahu apa yang akan terjadi esok hari, apakah akan dibunuh, disiksa lagi, atau dibiarkan hidup dengan perut lapar, dengan rongrongan berbagai penyakit menular tanpa obat, tanpa perhatian, tanpa harga diri, martabatnya kemanusiaannya ditiadakan.
Bayangan tentang hal-hal seperti itulah kira-kira yang dapat kita temui dalam novel Merajut Harkat. Judul dalam sampul buku itu pun tampak huruf kecil semua dan terlihat kurus-kurus, mungkin dimaksudkan sebagai gambaran “tersiksa”-nya tokoh atau pesan dalam cerita itu.
Karya Putu Oka Sukanta tersebut merupakan hasil perenungan dan pengendapan selama dua puluh tahun, dan kiranya tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidup penulisnya yang sempat menjadi tapol (tahanan politik) selama 10 tahun (1966-1976) di Penjara Salemba dan Tangerang, tanpa pernah diadili.
Novel ini punya kelebihan khas. Pertama, karya ini sudah menunjukkan kepada kita sosok manusiawi seorang tapol yang mampu mempertahankan kemanusiaan dalam penderitaan. Kedua, sebagai novel yang berlatar belakang sejarah, menjadi sangat bernilai karena memberikan interpretasi dan perspektif alternatif terhadap apa yang terjadi/ dialami.
Ketiga, membaca novel ini kita bisa mengenali diri kita sendiri sebagai bangsa. Apakah kita bangsa yang beradab, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan? Lagi pula pengakuan korban penculikan Pius Lustrilanang dan orang-orang yang “hilang” tahun 1990-an, menunjukkan bahwa novel Merajut Harkat yang “menggambarkan” apa yang terjadi tahun 1960-an, ternyata masih relevan sampai sekarang.
***
NOVEL ini terbagi dalam lima bagian, yaitu Mengenali Jejak, Menatap Arah, Bersua dan Bersulang, Ning, dan Nyawa Sisa. Pada bagian awal, tokoh utama Mawa menonton film di bioskop dengan Nio. Mereka tiba-tiba pikirannya tegang penuh kekhawatiran, karena di situ mengenali seseorang yang dianggap membahayakan dirinya. “Hati-hati,” kata orang itu sebagai peringatan, atau mungkin malah ancaman.
Dari situlah kemudian menjadi berlanjut ketika sepulang menonton, bencana dimulai yakni pintu rumahnya digedor, kemudian digeledah, lalu ia diangkut. Ternyata ia dibawa ke barak, dan menjadi seorang tahanan.
Pada bagian Menatap Arah, kisah Mawa yang dikurung dalam penjara seperti binatang dalam karantina. Kisah-kisahnya dibangun penuh nuansa puitis dengan adanya kehadiran tokoh penyair yaitu HR. Banharo yang dijumpai di penjara. Pada bagian Bersua dan Bersulang, kisah persahabatan Mawa dengan tahanan-tahanan lainnya. Masih bernuansa puitis dengan bertambah lagi kehadiran penyair bernama Mirsan.
Pada bagian Ning, Mawa berada di Blok N, blok kerangkeng singa. Ia masuk digiring oleh seorang hansip dan serdadu serta tahanan yang membawa kunci sel. Di sini ia merasakan masuk ke dalam suatu dunia baru, yaitu dunia Ning.
Pada bagian akhir, yakni Nyawa Sisa, Mawa merasakan bahwa sepi di luar sel, sepi juga di dalam dirinya. Kemudian roh Mawa seperti lepas dari raga yang bergentayangan masuk ke orang-orang pasar, tukang becak, dan terakhir seorang polisi, dengan sempat menyapa serdadu tahanan yang lewat dan ia pun tersenyum. Ya, ia tersenyum terus sambil memanjat langit, menunggang mega dihembus angin.
***
SALAH satu adegan yang menyentuh dalam novel ini terjadi ketika para tapol yang ditangkap itu dengan penuh tanda Tanya besar mempersoalkan apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Ya, tak ada yang dapat memberikan penjelasan terhadap suatu tragedy tersebut. Masih menjadi kontroversial? Mungkin!
Di antara ungkapan-ungkapan tahanan yang cenderung melampiaskan bahasa jorok dengan vulgar, diungkapkan dalam novel ini. Juga ditampilkan kerapuhan hidupnya, kerinduannya dan sewaktu-waktu nyali kehidupannya yang begitu sulit dipahami. Bisa diibaratkan sebagai lilin yang kena terpaan angina, yang sudah tampak padam dengan sendirinya.
Ada lagi adegan yang sangat ironis, ketika seorang pemuda tapol dengan penuh semangat dan tekad menggebu-gebu menyatakan ingin bergabung jadi anggota sebuah organisasi tersebut justru karena sudah dinyatakan bubar oleh pemerintah. Pemuda itu mendapatkan bahwa rekan yang berasal dari organisasi tersebut lebih bersikap manusiawi disbandingkan dengan sesama tapol lain. Sebuah simpatik yang sangat simpatik. Hal-hal seperti itulah yang sering ditonjolkan dalam novel Oka ini.
***
MEMBACA novel ini, terasa dengan jelas, realistis, digambarkan manusia yang terkoyak oleh tekanan kekuasaan dan penderitaan, saling mencurigai, bahkan terkadang mengkhianati dan memangsa yang lain. Di pihak lain digambarkan pula manusia-manusia yang sanggup mempertahankan nilai kemanusiaannya dalam penderitaan, dan mampu memberi uluran tangan pada yang lain di saat ia sendiri dalam keadaan sekarat.
Ditulis selama dua puluh tahun, novel ini memang terasa tidak terjalin oleh suatu mood yang utuh. Terkadang narasinya diolah dengan puitis yang juga begitu reflektif. Sedangkan diksi dan pengkalimatan narasinya seringkali seperti transkripsi lisan (bahasa tutur) yang belum tersentuh pengolahan estetis.
Membaca buku ini, hendaknya tak usah menusukkan dendam ke dalam hati. Tetapi justru harus membuat pikiran tambah bening, bahwa kekerasan bukanlah cara pemecahan persoalan.

(dimuat di Kompas, 31 Oktober 1999)

Jejak Pemikiran Kritis Sang Kiai Selebritis

Jejak Pemikiran Kritis Sang Kiai Selebritis

Judul buku: Jejak Tinju Pak Kiai
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: September 2008
Tebal: xiii + 240 halaman

Emha Ainun Nadjib adalah sebuah fenomena. Pemikirannya sangat fleksibel, bisa masuk ke berbagai ranah kehidupan: sosial, budaya, politik, keagamaan, bahkan dunia selebritas. Namun, Cak Nun--demikian sapaan akrabnya--tetap giat dalam berbagai acara rutin yang diasuhnya, yaitu Padang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Ilahi (Malang).
Bahkan, bersama grup musik Kiai Kanjeng yang didirikannya, ia kerap diundang ke berbagai negara, antara lain Mesir dan Malaysia. Bersama Kiai Kanjeng pula ia mengadakan rangkaian tur keliling di Benua Eropa, seperti di Inggris, Jerman, Skotlandia, dan Italia. Pada akhir 2006 ia melakukan serangkaian perjalanan ke Finlandia dalam acara Amazing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture.
Buku Jejak Tinju Pak Kiai ini menghimpun kumpulan tulisan Emha Ainun Nadjib yang tersebar di berbagai media massa. Dalam buku ini Emha menuliskan kegelisahannya soal reog, batik, dan lagu Rasa Sayange yang diakui sebagai kebudayaan Malaysia.
Tak hanya itu. Emha juga menulis masalah rakyat kecil: kegelisahannya tentang Pasar Turi di Surabaya, nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, hingga masalah Lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Ada juga tulisan lain, seperti “Austranesia”, “Pecel Suriname”, “Buto Kempung”, “Tanah Halal Air Halal”, “Mudik Keluarga Mudik Bangsa”, dan sebagainya.
Buku setebal 240 halaman ini terdiri atas enam bagian. Di bagian pertama, bertema Manunggaling Kawula lan Gusti, ia lebih banyak menyoroti kondisi Indonesia yang kacau dengan berbagai terminologi. Misalnya saja lewat peristiwa pingsannya Pak Kiai akibat menonton tinju, atau tentang kesabaran orang-orang kampung menghadapi masalah, hingga tentang pilkada yang cenderung memicu kekisruhan di pelbagai wilayah.
Bagian kedua, Gondes, Bleksor, dan Buto Kampung, menyoroti pemakaian bahasa Indonesia. Dengan gaya khasnya, ia memilah bahwa ternyata bahasa Indonesia bukan hanya terdiri atas yang baik dan yang benar, tapi juga yang enak. Ada juga pandangan Sang Kiai tentang narkoba, pengemis, hingga konflik partai.
Bagian ketiga, Makhluk Halal, Makhluk Haram, berisi kritik Cak Nun terhadap makna tanah air, institusi negara, kehidupan bernegara dan beragama, serta mempertanyakan tentang nasionalisme 2009.
Ada yang khusus di bagian keempat. Cak Nun tampaknya ingin memberi porsi istimewa bagi Jawa Timur, tempatnya bermukim selama ini. Dalam bagian tulisan "Nyunggi Wakul", ia membahas mengenai Daerah Istimewa Surabaya. Idenya tentang bagaimana idealnya mensurabayakan Surabaya dibahas tuntas.
Secara mikro ia berbicara tentang kepedulian Jawa Timur, masing-masing pada tulisan tentang Pasar Turi, Gerakan Majnun Internasional, hingga adanya Jaringan Mahasiswa Revolusioner Indonesia Baru.
Dalam bagian kelima, "Indon", dan “Reog Malaysia”, ia mengungkapkan buah pikirannya tentang hal-hal yang lebih besar. Mulai dari tragedi Kasan-Kusen, cucu Nabi Muhammad yang meninggal begitu amat sangat tragis dengan kepala dipenggal, atau tentang Irak-Amerika. Hingga tentang Austranesia, sebuah wacana penggabungan dua negara bertetangga, yaitu Australia dan Indonesia. Hubungan kedua negara menurut Cak Nun selalu penuh dengan pertentangan untuk kemudian saling bermesraan.
Atau tentang Malaysia, yang membuat masyarakat seluruh Indonesia marah karena kasus pengakuan reog, batik, dan lagu Rasa Sayange. Tapi tampaknya cuma Cak Nun yang seperti memaklumi kelakuan negara jiran ini. Meski tentu saja dalam kerangka sebuah kritik untuk hubungan kedua negara yang bertetangga yang tetap terjalin baik.
Terakhir, bagian keenam, “Ijtihad, Ittiba, Taqlid”, dimulai dari pembahasan Cak Nun tentang nabi yang pernah membakar masjid akibat ulah oknum takmir masjid sehingga membuat masjid itu menimbulkan mudarat lebih besar dibanding manfaat; tentang kritik terhadap departemen agama; tentang perbedaan berbagai ormas Islam dalam menentukan waktu Hari Raya yang kontroversial tapi dirinya justru menginginkan semoga perbedaan itu sepanjang masa; tentang puasa; tentang mudik.
Sampai pembahasan tentang "Islamic Valentine Day”, sebuah istilah dari Cak Nun yang ngawur bila ditinjau dari sudut apa pun, bahkan perayaan Valentine Day selalu kontroversial, tapi tampaknya di sini ada itikad baik tentang cinta dan kemanusiaan.
Akhirnya kita dapat menyimpulkan keseluruhan tulisan dalam buku ini bermuara pada bagaimana perlunya bersikap arif dan melatih kesabaran, perlunya menjadi makhluk wajib yang berguna bagi sesama, meninggalkan kesombongan, fanatisme berlebihan, serta mencanangkan rasa nasionalisme. Walau demikian, dalam memandang berbagai persoalan, Cak Nun tidak terkesan menggurui, justru memberikan solusi dan daya tambah untuk melapangkan dada dan membeningkan hati dan pikiran.
Tampaknya tak seorang pun yang dapat memahami pemikiran Cak Nun selain H. Halimah, ibunya, satu-satunya orang yang mengajarinya membaca Al-Quran. Sebab, Cak Nun kecil tak mau diajari qira'at oleh siapa pun kecuali oleh ibunya sendiri. Tapi, lewat buku ini, kita akan mendapat titik terang penelusuran panjang mengenai jejak pemikiran kritis sang kiai selebritas.

(dimuat di Koran Tempo, 2 November 2008)

Bahasa! Seputar Istilah Arsitektur

Bahasa!
Seputar Istilah Arsitektur
Akhmad Sekhu*)

Dalam sebuah acara seminar arsitektur, Budi A. Sukada, ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Pusat, mengutarakan protes. Ia mendengar seorang pembawa acara yang mengucapkan organisasi dipimpinnya itu dengan nama: Ikatan Arsitektur Indonesia. Sang ketua menjelaskan bahwa terminologi yang benar adalah Ikatan Arsitek Indonesia karena yang diikat dalam organisasi tersebut adalah orangnya, profesinya, yaitu arsitek. Bukan arsitektur karena arsitektur itu adalah benda sebagai hasil karya dari arsitek. Arsitektur adalah seni dan ilmu merancang serta membuat kontruksi bangunan, atau arsitek itu metode dan gaya rancangan sebuah konstruksi bangunan. Konon, katanya, kasus kesalahan pengucapannya ini berulang kali sering terjadi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih rendah tingkat kesadaran dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Singkatan organisasi-organisasi ikatan profesi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bukan Ikatan Kedokteran Indonesia; Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bukan Ikatan Akuntansi Indonesia; Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) bukan Ikatan Advokasi Indonesia. Lain konteksnya kalau singkatan organisasi-organisasi kesarjanaan pada ilmu-ilmu tertentu, seperti misalnya Ikatan Sastra Ekonomi Indonesia (ISEI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), maupun Ikatan Sarjana Sastra Indonesia (ISSI).
Di surat kabar terbitan ibu kota pada beberapa tahun lalu, saya membaca tentang adanya seorang selebriti cilik yang baru “naik daun” yang ditanya wartawan tentang apa cita-citanya. Jawabannya adalah: menjadi arsitektur. Mengapa masyarakat kita sering salah ucap dalam mengucapkan istilah keilmuan? Dan kenapa sang wartawan yang menulis berita itu tidak menyunting kesalahan pengucapan narasumbernya? Mungkin sang selebriti cilik menjawab bercita-cita ingin jadi arsitektur, karena mendengar nama-nama profesi seperti direktur, inspektur, kondektur, yang semuanya berakhiran tur menunjukkan bahwa itu orangnya, profesinya. Tapi ia tidak tahu kalau arsitektur itu “benda” hasil karya dari sang arsitek.
Sebenarnya, mendiang YB. Mangunwijaya pernah mengingatkan kita tentang istilah arsitektur yang berasal dari bahasa Yunani mempunyai arti terbatas, yaitu terdiri dari kata “arkhe” yang berarti asli, awal, utama, otentik; dan kata “tektoon” yang berarti berdiri stabil, kokoh, stabil, statis; sehingga “arkhitekton” berarti pembangunan utama, tukang ahli bangunan. Kemudian, istilah arsitektur dihadapkan dengan istilah wastu yang artinya lebih luas lagi. Wastu yang berasal dari kata vasthu dari bahasa Sanskerta itu diartikan norma, tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang berbentuk jadi punya arti luas dan komprehensip. Istilah wastu datang dari dalam, dari inti, jati diri, sikap hidup, bahkan bisa dikatakan sebagai kebudayaan bangsa. Peringatan Romo Mangun ini disampaikan lewat makalahnya berjudul “Salah Satu Konsepsi Arsitektur Indonesia” yang disajikan dalam Kongres Nasional II IKatan Arsitek Indonesia di Yogyakarta, pada tanggal 2 Desember 1982.
Tapi kita tampaknya lebih suka menyebut arsitektur. Itu berarti istilah tersebut seragam di seluruh dunia. Kalimat “arsitek menghasilkan karya rancangan arsitektur”, sesungguhnya bisa diganti menjadi “seorang wastuwidyawan menghasilkan karya rancangan wastu”. Kalau saja kita mengikuti anjuran Romo Mangun untuk memakai istilah “wastu” tentu kita akan memiliki ciri khas bahasanya sendiri.
Apalagi tak ada yang mewajibkan bahwa sebuah istilah harus seragam di seluruh dunia. Istilah lokal justru akan memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Jika kita sepakat dengan sama Romo Mangun untuk menggunakan sebutan wastuwidyawan, tentu tidak membuat masyarakat salah ucap.

*) Arsitek
alumni Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta,

(dimuat di MAJALAH TEMPO, Edisi 23-29 Maret 2009)

Mengenal Seluk-beluk Jejaring Sosial Facebook

Judul Buku : Facebook
Penulis : Tony Hendroyono
Penerbit : B First, Yogyakarta
Cetakan : Januari 2009
Tebal : xii + 132 halaman

Facebook adalah sebuah fenomena. Bukan saja remaja dan kaum muda gaul yang kenal dengan situs yang memungkinkan kita dapat mudah melacak teman-teman lama. Hampir semua orang sangat mengakrabinya, bahkan saking begitu gandrungnya, hingga seperti tiada hari tanpa Facebook.
Fenomena situs yang menghubungkan satu orang ke orang lainnya itu sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya, ada Friendster, Multiply, MySpace, Hi5, dan lain-lain. Sampai saat ini diperkirakan 57 juta anggota Facebook yang online setiap harinya. Sebuah jumlah yang tentu sangat sensasional.
Melalui buku berjudul “Facebook”, Tony Hendroyono, mencoba menyajikan wajah Facebook yang sebenarnya. Siapa orangnya di balik kesuksesan Facebook? Bagaimana proses penciptaan situs sampai membuat orang-orang di berbagai belahan dunia begitu demam, bahkan keranjingan? Dan, apa saja yang ditawarkan situs yang sekarang paling banyak dikunjungi di mua bumi ini? Semua tuntas dibahas, bahkan bagi Anda yang sama sekali belum pernah menyentuh Facebook dipandu tentang berbagai cara praktis menggunakan situs beserta tip dan trik pemakaiannya.
Siapa sangka tokoh kunci di balik sukses Facebook ternyata seorang mahasiswa Harvard University yang usil. Hebatnya lagi, seperti kisah para tokoh penemu piranti lunak lainnya yang bermula dari garasi. Facebook dikerjakan dan ditulis sendirian dari sebuah kamar asmara mahasiswa yang dihuni Mark Zuckerberg, sang CEO yang masih sangat muda belia, baru berusia 24 tahun.
***
Buku terbagi dalam tiga belas bagian, yaitu bagian pertama, Situs Kontroversial, yang menceritakan tentang keberuntungan Zuckerberg, kepala kerajaan bisnis Facebook. Zuckerberg pun digelari miliuner termuda di dunia oleh majalah Forbes dengan kekayaannya ditaksir 1,5 miliar dolar AS, dan dijuluki generasi Bill Gates, tokoh teknologi informasi yang juga drop out dari Harvard. Keduanya berlimpah harta. Seperti Gates, di awal kariernya, Zuckerberg juga menghadapi tuduhan serius bahwa karyanya berdasarkan ide yang ia curi dari orang lain.
Kedua, Bermula dari Harvard, menceritakan kisah awal Zuckerberg merintis Facebook dimulai dari Harvard, yaitu membobol data pribadi setiap penghuni Harvard dan menuliskan blog tentang perbuatannya itu lengkap dengan setiap langkah caranya sehingga badan pengurus Harvard menuduhnya melanggar privasi mahasiswa. Ketiga, Ide Bertebaran di Udara, menceritakan Zuckerberg bukan satu-satunya mahasiswa Harvard yang memanfaatkan potensi web, tapi seluruh mahasiswa memikirkan alat baru yang dapat membuat hubungan pribadi terjadi secara online.
Keempat, Perang Dimulai, menceritakan awal mulanya Zuckerberg berseteru dengan trio Harvard Connection sejak Facebook diluncurkan pada 4 Februari 2004. Mereka menuduh Zuckerberg mencuri ide dan sengaja menunda pekerjaan pada situs mereka sehingga ia dapat meluncurkan situsnya. Pada bagian kelima, Sangkalan, memang menceritakan Zuckerberg menyangkal tuduhan itu.
Keenam, Membangun Kerajaan Bisnis, menceritakan Zuckerberg membangun Facebook yang menjadi kerajaan bisnisnya. Ketujuh, CEO yang Menjengkelkan, menceritakan tentang tingkah-polah Zuckerberg yang dinilai oleh berbagai kalangan sebagai perbuatan CEO yang menjengkelkan. Kedelapan, Hukum Terus Bergulir, menceritakan makin banyak uang melimpah-ruah di Facebook maka makin banyak orang dalam Facebook yang keluar sehingga Zuckerberg menuai banyak musuh dengan kesuksesan Facebook dan tuntutan hukum pada dirinya terus bergulir.
Kesembilan, Situs yang Menghebohkan Itu, menceritakan tentang seluk-beluk Facebook dari mulai syarat keanggotaan, profil, sampai dengan fitur baru yang disebut news feed. Kesepuluh, Aplikasi Pihak Ketiga Facebook, membahas tentang aplikasi pihak ketiga Facebook, yaitu Facebook mobile. Kesebelas, Data dan Fakta Facebook, menceritakan data karyawan Facebook dan fakta Facebook sebagai jejaring sosial yang terus tumbuh dan berkembang jumlah pengguna aktignya.
Keduabelas, Bagaimana Menggunakan Facebook? Tentu membahas tentang panduan untuk dapat menggunakan Facebook. Sebuah panduan yang praktis dan mudah. Hingga, terakhir, bab ketigabelas, Tip dan Trik Menggunakan Facebook, membahas tentang berbagai tip dan trik yang tentu semakin mudah dan lebih menarik lagi dalam menggunakan Facebook.
***
Setiap hari hampir 70 juta pengguna login untuk menengok profil teman-teman mereka, dengan jumlah pertumbuhan pengguna sedikitnya 150 ribu orang per hari. Sebuah angka yang begitu sangat fantastis! Facebook menerima lebih dari 14 juta foto yang diunggah setiap hari dan angka ini terus meningkat.
Akan tetapi, keberhasilan Mark dan Facebook tidaklah seketika. Perlu beberapa tahun untuk memeram idenya, termasuk melakukan magang dan terlibat berbagai kerja sama dengan para mahasiswa Harvard lainnya, dan tambahan beberapa waktu untuk merancang konsep pemasaran hingga Facebook melejit begitu jauh meninggalkan berbagai situs jejering sosial lainnya yang hadir lebih awal. Unggul dari segi fitur dan kemudahan penggunaannya, membuat orang betah berlama-lama di depan komputer. Bagi Anda yang baru mengenal Facebook, buku ini mendedahkan kisah selengkapnya untuk dapat mengenal seluk-beluk jejaring sosial fenomenal tersebut.

Akhmad Sekhu, pengamat buku, tinggal di Jakarta dan Tegal.

(dimuat di KORAN JAKARTA, 2 April 2009)

Kalahnya Caleg Kami

Oleh: Akhmad Sekhu
(Pengamat Politik)


Akhir-akhir ini kami merasakan ngeri yang berkepanjangan dan tak berkesudahan. Kengerian kami sebagai anak negeri yang sedang menghadapi masa pemilihan umum yang cenderung disikapi oleh para elite politik kita sebagai masa peralihan kekuasaan. Sejarah mencatat, dalam setiap peralihan kekuasaan akan selalu terjadinya bentrokan kepentingan.
Konon, dalam politik tak ada teman atau lawan yang abadi, tapi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, jadi apapun bisa saja terjadi, seperti istilahnya ada yang menikam dari belakang, sampai ada yang menggunting dalam lipatan.
Kampanye memang sudah kita lewati bersama, meski terbilang relatif aman karena tidak ada bentrokan antar pendukung partai, yang memicu kerusuhan masal. Hal itu menunjukkan kedewasaan masyarakat kita dalam kehidupan berdemokrasi, tapi masih menyisakan kekhawatirkan yang kali ini tampak sepele karena yang terjadi lebih banyak bentrokan sesama pendukung partai, yang sebenarnya justru sangat dilematis seperti menyimpan bom waktu yang tentu sewaktu-waktu bisa saja meledak kalau sampai nanti disulut api dendam orang-orang dalam sesama partai.
Meski yang terjadi adalah bentrokan kecil, yaitu bentrokan fisik sesama pendukung partai pada saat panggung hiburan goyang dangdut berlangsung. Tapi hal ini bisa menjadi isyarat bagi kita akan pertanda adanya bentrokan yang lebih besar lagi, yaitu bentrokan psikis. Kalau bentrokan fisik hanya seperti riak-riak kecil yang tentu tak berarti apa-apa, tapi kalau bentrokan psikis tentu bagaikan gelombang ombak besar yang bisa berdampak sangat besar bisa mampu mengoyahkan, bahkan mungkin bisa lebih fatal lagi hingga sampai mengkaramkan kapal negara ini.
Bentrokan psikis yang terjadi sesama pendukung partai adalah buah dari sistem pemilu yang sekarang ini berubah, dimana kalau sistem pemilu pada 2004 menggunakan nomor urut, tapi dalam sistem pemilu 2009 adalah suara terbanyak yang rentan dan bisa menimbulkan gangguan mental-emosional terhadap calon legislator (caleg) yang lebih berat. Sebuah perubahan sistem pemilu yang menelan korban mengingat jumlah caleg yang jadi tentu banyak sekali, bahkan bisa dibilang berpotensi meningkatkan kerentanan adanya pengidap gangguan jiwa berat pada masyarakat semakin banyak.
Sebuah kenyataan terbentang telah membuka mata kita, beberapa waktu yang lalu, seorang calon bupati di daerah mengalami gangguan jiwa berat karena kalah dalam pilkada. Konon, ia telah menghabiskan 3 miliar yang didapat tidak hanya dari kocek pribadi, tapi juga dari hasil utang kiri-kanan. Utangnya begitu bejibun menggunung, bisnisnya bangkrut, dan kemudian ia ditinggal pergi oleh istrinya.
Kini demi meraih kursi, caleg berbuat irasional. Tak sesuai dengan kemampuan, baik psikologi maupun materi, terpaksa mengeluarkan semua harta kekayaannya, sampai melakukan utang kiri-kanan. Bahkan ada seorang calon legislator yang sampai menghabiskan dana sekitar 10 miliar. Padahal kalau dia nanti jadi menjabat legislatif selama 5 tahun konon kalau dihitung mungkin hanya sekitar 2 miliar.
Kalau gagal raih kursi, calon legislator akan tertekan kejiwaannya, stres, dan depresi. Apalagi mereka banyak yang daya tahan psikologinya tidak kuat. Untuk itu, sejumlah rumah sakit jiwa telah menyatakan siaga satu dengan menyiapkan bangsal rawat VIP buat calon legislator yang jiwanya terguncang karena kalah dalam Pemilu. Bahkan tidak tanggung-tanggung, fasilitas yang disiapkan mirip dengan hotel berbintang.
Kalahnya caleg kami adalah belum berhasilnya caleg kami mengelola diri. Mereka tampak seperti tiba-tiba mencalonkan diri sebagai caleg tanpa proses yang alami. Pencalonan yang instan. Kemudian, istilah mengenai suara rakyat adalah suara Tuhan tampaknya sekarang mulai tidak berlaku lagi karena sebagian besar rakyat sekarang sudah jauh dari Tuhan.
Mereka beragama tapi kehidupannya tidak mencirikan sebagai orang beragama. Sebuah kenyataan yang sangat mencengangkan, tapi inilah yang terjadi dan kalahnya caleg kami memang harus diterima sebagai kesuksesan yang tertunda agar nanti tidak sampai mengalami gangguan jiwa berat jadi hal ini bisa disikapi sebagai sebuah pembelajaran untuk menata diri kembali pada kehidupan beragama yang lebih baik.
Kalau kehidupan beragama sudah baik, caleg yang kalah kembali mencalonkan diri pada pemilu lima tahun yang akan datang. Dengan menjalani kehidupan beragama yang lebih baik berarti berupaya mengembalikan lagi makna suara rakyat sebagai suara Tuhan. Kalau sudah begitu, maka akan baik juga kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga citra negara Indonesia akan lebih baik di mata dunia internasional.

Harian Umum PELITA, Edisi Rabu , 15 April 2009

Ketidaksiapan Pemilu Contreng

Oleh: Akhmad Sekhu
(Pengamat Politik)


Ada yang baru dalam pemilu 2009, yang tampak sepele hanya perubahan dari coblos ke contreng, tapi kalau kita amati tentu tidak sesederhana itu perubahannya, terbukti yang terjadi pada Pemilu Legislatif 9 April, banyak terjadi kesalahan teknis maupun non-teknis. KPU (Komisi Pemilihan Umum) berperan paling besar dalam perubahan dari coblos ke contreng itu. Apalagi, sistem Pemilu Legislatif yang dulu berdasarkan nomor urut, tapi kini berubah dengan besarnya perolehan suara. Sungguh dibutuhkan lebih banyak lagi biaya, tenaga, bahkan pikiran.

Ada sebuah partai yang mencoba mengambil peran dengan berinisiatif sendiri mengadakan sosialisasi yang katanya bertujuan memperingan tugas sosialiasi KPU, tapi dicurigai oleh Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) yang menilai inisiatif itu sebagai kampanye terselubung. Maksud baik tidak akan disambut dengan baik, demikian tanggapan partai yang punya inisiatif, karena kemudian memang gerakannya lebih cenderung agresif untuk mencari dukungan. Panwaslu sebagai institusi pengawas harus waspada terhadap berbagai bentuk kampanye yang tidak semestinya.

Kemudian, ada yang lain lagi, kali ini himbauan dari salah seorang ketua partai besar yang meminta pendukungnya untuk mencoblos dan tidak usah mencontreng. Alasannya, konon katanya, karena sebagian besar pendukungnya adalah wong cilik yang dianggapnya tidak terbiasa dengan contreng jadi lebih baik tetap mencoblos saja. Sungguh himbauan itu sebagai sebuah langkah kemunduran kehidupan demokrasi di negeri ini. Himbauan yang tidak mendidik. Semestinya, walau klaim partainya sebagai partainya wong cilik, tapi justru dengan mencontreng itu tentu akan jadi lebih baik.

Seperti sebuah peribahasa 'sekali dayung, dua pulau terlampaui,' demikian juga sekali contreng, dua tujuan tentu akan tercapai, yaitu pertama, dengan contreng, kita bisa mengenalkan wong cilik pada pena pencontreng yang jarang digunakannya. Kedua, dengan contreng, kita bisa membudayakan wong cilik dengan budaya tulis. Meski, dalam pemilu mereka hanya sebentar mencontreng, baik Pemilu Legislatif kemarin maupun Pemilu Presiden yang akan datang, tapi kita dapat berharap semoga bisa menjadi membudaya dalam kehidupan wong cilik beradaptasi dengan budaya tulis.

Generasi televisi
Sekarang ini kita memasuki zaman yang disebut sebagai zamannya generasi televisi, generasi multimedia, generasi internet dengan booming-nya jejaring sosial facebook, yang kesemuanya dalam era globalisasi. Banyak wong cilik yang tak dapat menikmati, jangankan mengakses internet, karena memakai pena pun jarang, bahkan bisa dikatakan tidak sama sekali. Mereka, sebagian besar masyarakat kita yang dijuluki sebagai wong cilik, orang kecil atau orang-orang pinggiran, tampak gagap karena dari budaya lisan yang belum mampu diadaptasi langsung ke budaya audiovisual. Mereka tak sempat beradaptasi dengan budaya tulis, sebuah budaya peralihan antara budaya lisan dengan budaya audiovisual yang tanpa sadar telah mereka lompati.

Mereka menonton televisi, bahkan nyaris menghabiskan seluruh waktunya di depan 'kotak ajaib' itu, tapi hanya sekedar menonton, tidak mencatat dari manfaat yang bisa didapat dari 'budaya audiovisual' menonton. Berbagai acara tak bernilai; sinetron-sinetron yang monoton, kejar tayang karena produksi maraton, reality-reality show yang mendramatisir getir kehidupan lebih tampak seperti menjual penderitaan, berita-berita yang latah cenderung mengeksploitasi segala hal yang negatif sehingga banyak penonton yang meniru karena tidak menyadari tontonan itu hanyalah sebuah tontonan bukan tuntunan, betapa semua itu seperti sampah-sampah yang dimuntahkan, sederas air bah, dan mereka memakannya mentah-mentah, tanpa lebih dulu "mengunyah," karena tak ada waktu untuk menyeleksi, apalagi merenung.

Jeda tayangan yang seharusnya digunakan untuk merenung, tapi karena diisi oleh iklan-iklan yang menggiurkan jadinya mereka gagap. Bahkan mereka yang tidak mampu terpaksa hanya bisa menahan air liur karena keinginan mendapatkan produk yang diiklankan itu tak terjangkau. Dalam hal ini, Neil Postman, pakar komunikasi, mengingatkan kita untuk mewaspadai media televisi agar tak gampang terpedaya televisi dengan iklan-iklannya yang menggiurkan. Sungguh tragis karena banyak orang yang tampak seperti tidak peduli, bahkan bisa dibilang berbuat nekad sekali sehingga kemudian terjadi menghibur diri sampai mati.

Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun itu, kini datang lagi dan di televisi tampak menyiarkan iklan-iklan partai politik yang banyak memberikan janji-janji. Sosialisasi perubahan pemilu tampak sekedar basa-basi. Bahkan kebanyakan iklan partai politik cenderung egois dengan memandu cara mencontreng hanya mencontreng pada partainya sendiri. Ya, mereka ibaratnya, seperti menyelam sambil minum air, memberi sosialisasi pemilu sambil cari dukungan demi keuntungan partainya sendiri.

Padahal, pemilu kali ini tidak sesederhana itu perubahannya, ya, tidak sekedar berubah dari alat mencoblos berbentuk paku ke alat mencontreng berbentuk pena, dari tradisi coblos berganti tradisi contreng, yang bisa dikatakan peralihan dari budaya lisan ke budaya tulis. Sebuah budaya yang tanpa mereka sadari telah mereka lompati karena dari budaya lisan langsung ke budaya audiovisual. Mereka adalah potret masyarakat kita yang tidak siap, bahkan banyak yang tak tahu tata cara pemilu contreng, alih-alih mereka apatis sehingga banyak yang golput. Kesalahan dalam Pemilu Legislatif yang tentu tidak akan terjadi kalau kita mengadakan sosialisasi dengan sebaik mungkin, betapa ketidaksiapan pemilu contreng menunjukkan kegagapan masyarakat kita.

(dimuat di Harian REPUBLIKA, Sabtu, 11 April 2009)